EKONOMI KREATIF
Oleh Jakob Oetama
Indonesia adalah negara kepulauan yang besar,
terdiri atas 17.504 pulau dengan keragaman dan kekayaan budaya bangsa. Terdapat
1.068 suku bangsa, dan berkomunikasi dengan 665 bahasa daerah di seluruh
Nusantara.
Indonesia dikaruniai iklim subtropis yang
bersahabat, tanah yang subur, serta alam yang sangat indah. Selain itu, Indonesia kaya dengan spesies langka flora dan
fauna mencakup mamalia, kupu-kupu, reptil, burung, unggas, dan amfibi berjumlah
3.025 spesies.
Tumbuhan yang hidup di Indonesia berjumlah sekitar 47.000 spesies atau
setara dengan 12 persen dari seluruh spesies tumbuhan di dunia.
Dalam bidang seni dan budaya terdapat sedikitnya
300 gaya tari tradisional yang berasal dari
Sabang sampai Merauke. Kekayaan budaya bangsaIndonesia adalah potensi besar dalam mendukung
tumbuhnya industri kreatif Indonesia yang saat ini memberikan kontribusi
kepada pendapatan domestik bruto (PDB) senilai Rp 104,6 triliun.
Industri kreatif Indonesia
Rata-rata kontribusi PDB industri kreatif Indonesia tahun 2002-2006 sebesar 6,3 persen
dari total PDB Nasional dengan nilai Rp 104,6 triliun. Nilai ekspor industri
kreatif mencapai Rp 81,4 triliun dan berkontribusi sebesar 9,13 persen terhadap
total nilai ekspor nasional dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 5,4 juta
pekerja.
PDB industri kreatif menduduki peringkat ke-7
dari 10 lapangan usaha utama yang ada di Indonesia.
PDB industri kreatif saat ini masih didominasi oleh kelompok fesyen, kerajinan,
periklanan, dan desain.
Pemerintah telah mengidentifikasi lingkup
industri kreatif mencakup 14 subsektor, antara lain, industri perangkat lunak (software),
pasar barang seni, industri kerajinan, fesyen, advertising, desain, animasi,
film, video dan fotografi, musik, serta permainan interaktif.
Indonesia memiliki potensi kekayaan seni budaya
yang beragam sebagai fondasi tumbuhnya industri kreatif. Keragaman budaya itu
sendiri sebagai bahan baku industri kreatif, munculnya aneka
ragam kerajinan dan berbagai produk Indonesia,
memunculkan juga berbagai bakat (talent) dari masyarakat Indonesia di bidang industri kreatif.
Universitas Multimedia Nusantara (UMN) berupaya
menjadi salah satu elemen penggerak industri kreatif, yakni menyiapkan tenaga
yang berbakat tersebut menjadi terampil dan berdaya saing tinggi untuk berhasil
di industri kreatif.
UMN merancang kurikulum yang berorientasi kreatif
dan kewirausahaan (entrepreneurship) berikut sarana laboratorium yang
baik di bidang ICT (information and communication technology) serta
laboratorium multimedia (animasi desain).
Alasan mengembangkan
Indonesia perlu terus mengembangkan industri
kreatif. Alasannya, industri kreatif memberikan kontribusi ekonomi yang
signifikan. Selain itu, industri kreatif menciptakan iklim bisnis yang positif
dan membangun citra serta identitas bangsa.
Di sisi lain, industri kreatif berbasis pada
sumber daya yang terbarukan, menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan
keunggulan kompetitif suatu bangsa serta memberikan dampak sosial yang positif.
Meski demikian, untuk menggerakkan industri
kreatif diperlukan beberapa faktor. Di antaranya, arahan edukatif, memberikan
penghargaan terhadap insan kreatif, serta menciptakan iklim usaha yang kondusif.
Fenomena global
Saat ini ekonomi industrial telah beralih ke
Ekonomi Kreatif dan korporasi berada di simpang jalan. Atribut yang cocok untuk
abad ke-20 tidak lagi sesuai di abad ke-21 sehingga korporasi harus berubah
secara dramatis.
Daya yang paling penting saat ini adalah
tumbuhnya kekuatan ide. Itulah sebabnya, sebagian besar tenaga kerja kini
berada pada sektor jasa atau menghasilkan produk abstrak, seperti data,
software, berita, hiburan, periklanan, dan lain-lain.
Belanja modal di Amerika Serikat untuk teknologi
informasi berlipat lebih dari tiga kali lipat sejak 1960, dari hanya 10 persen
menjadi 35 persen.
Pergantian abad merupakan pergantian dari
hamburger ke software. Software adalah ide. Meskipun masih ada pembuat
hamburger di abad ke-21, tetapi kekuatan, prestise, dan uang akan mengalir ke
perusahaan dengan modal intelektual yang sangat berharga.
Bila dibandingkan, McDonald’s yang memiliki
pegawai 10 kali lebih banyak, nilai kapitalisasi pasarnya hanya 1/10 Microsoft.
Pada era ekonomi yang berbasis pada ide, potensi
untuk sukses seperti Yahoo, Google adalah jauh lebih besar karena ide bersifat
menular. Ide dapat menyebar ke populasi yang sangat besar dalam waktu yang cepat.
Sekali sebuah ide, seperti program komputer telah
dikembangkan, biaya untuk penggandaan hampir nol, tetapi dengan potensi
keuntungan yang sangat besar.
Dalam era ekonomi kreatif, isu penting yang harus
diatasi adalah pembajakan. Buku, musik atau software sulit untuk dibuat, tetapi
sangat mudah digandakan, apalagi dengan kehadiran internet. Padahal pencurian
terhadap hak cipta intelektual sangat mematikan inovasi.
Di era ekonomi kreatif, tersedia modal yang
sangat banyak tetapi justru ide bagus yang sangat kurang. Jadi pemilik modal
sepertinya kehilangan kekuatan di abad ke-21 ini, sedangkan wirausahawan dan
pemilik ide-lah yang memegang peranan.
Hak milik intelektual
Dalam Ekonomi Kreatif, hak milik intelektual yang
paling penting bukanlah software, musik atau film, tetapi apa yang berada di
dalam kepala karyawan.
Ketika aset berupa benda fisik, seperti batu
bara, misalnya, pemegang saham memiliki seluruhnya. Tetapi kalau aset
terpenting adalah orang, mereka tidak sepenuhnya memiliki karena berada di
orang tersebut.
Bila orang tersebut pindah, maka mereka akan
membawa serta aset-aset berupa ide. Yang terbaik yang bisa dilakukan oleh
perusahaan adalah menciptakan lingkungan yang bisa membuat orang terbaik tetap
betah. Aset yang sebenarnya adalah ide.
Jakob Oetama, Presiden Komisaris Kompas
Gramedia. Disampaikan pada acara Studium Generale Universitas Multimedia
Nusantara (UMN) di Kampus UMN, Summarecon-Serpong, Tangerang
[Kompas, 24 Oktober 2008 ]
Selasa,
17 Februari 2009
Oleh IU
RUSLIANA
KRISIS global terus menelan korban. Bangkrutnya
beberapa korporasi, ketatnya pengucuran kredit perbankan dan pemutusan hubungan
kerja (PHK) di industri manufaktur seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan
yang lainnya terus terjadi. Korporasi besar yang masih bertahan tampaknya akan
berhati-hati dalam berekspansi. Pertumbuhan ekonomi 5 persen di 2009 adalah
angka yang paling realistis.
Kini hanya ada beberapa pelaku dan sektor
industri yang bisa diharapkan bakal menjadi kekuatan penggerak ekonomi, yaitu
pemerintah dan partai politik. Pemerintah dengan anggaran belanja tahun 2009,
seribu triliun rupiah lebih harus menjadi stimulus ekonomi. Termasuk kebijakan
menggenjot kredit perumahan kelas menengah ke bawah dan kredit motor serta
menurunkan harga BBM (premium dan solar) ke Rp 4.500,00 per 15 Januari 2009
adalah salah satu kebijakan penting. Demikian juga partai politik, kampanye
yang besar-besaran dengan dana triliunan rupiah diyakini akan menggerakkan
ekonomi nasional yang tengah terpuruk.
Harapan itu ada, namun apakah akan selamanya
begini? Adakah potensi besar yang harusnya disyukuri dan menjadi penopang
menuju kemandirian ekonomi? Pada konteks Jawa Barat, misalnya, beberapa
industri diperkirakan segera melakukan PHK, karena dampak krisis, menyusul
menurunnya order dari pasar Eropa dan Amerika Serikat. Dengan jumlah
pengangguran yang bakal meningkat, apakah program padat karya yang sifatnya
insidental saja yang bisa diandalkan? Bukankah sebaiknya dana bantuan sosial
ekonomi yang disalurkan bisa menggerakan ekonomi berbasis masyarakat lokal.
Ekonomi Kreatif
Sebagai bangsa yang kaya sumber daya alam dan
keragaman budaya, kita harus menyadari potensi ekonomi yang berasal dari
gagasan kreatif masyarakat. Masyarakat Indonesia,
apalagi masyarakat Jawa Barat, telah menyatukan diri dengan budaya dan alam
sehingga melahirkan pelbagai produk yang unik dan kreatif. Industri kreatif
Indonesia menyumbangkan sekitar 4,75% dari Produk Domestik Bruto atau PDB
Indonesia pada 2006, berada di atas sektor listrik, gas, dan air bersih. Laju
pertumbuhan industri kreatif Indonesia tahun 2006 sebesar 7,3% per tahun,
melebihi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang 5,6%. (Bisnis Indonesia,
24/10/2007).
Menurut Agung Bawantara (2008), di negara maju
Inggris, industri kreatif digenjot untuk menggerakkan perekonomian negara.
Hebatnya, sumbangan industri kreatif di negeri ini mencapai 8,7 persen yang
melampaui pendapatan Inggris dari sektor industri manufaktur. Di Korea, geliat
industri kreatif mengalami pertumbuhan sekitar 20 persen per tahun dan berada
pada posisi kedua setelah industri finansial.
Maka pemerintah Indonesia,
dalam menunjang keajekan industri kreatif, pada 2006 meluncurkan Indonesian
Design Power 2006-2010. Ini dilakukan untuk menggenjot industri kreatif
sehingga mampu memberikan pendapatan negara sebesar 10 persen pada 2016.
Melihat potensi negara ini, dengan kekayaan budaya dan alam, optimisme
mewujudkan program itu bukan isapan jempol. Tentunya dengan memperhatikan
pranata pendukung yang dapat mewujudkan cita-cita 10 persen pada tahun 2016.
Pranata yang mesti diperhatikan dalam
mengembangkan industri kreatif mulai dari masyarakat lokal, institusi formal
(pemerintah), lembaga pendidikan, agen, studio, toko, sampai pada keberadaan
komunitas dan institusi. Aspek-aspek yang terkait dengan pengembangan
kreativitas, mulai dari proses sampai pemanfaatan sarana informasi dan
pengetahuan yang berhubungan dengan perkembangan ekonomi kreatif, sisi
teknologi, dan prospek bisnis adalah komoditas yang harus mulai digarap serius.
Jabar Kreatif
Untuk konteks Jawa Barat, potensi ekonomi kreatif
telah ada namun perlu kebijakan khusus untuk mengembangkannya. Misalnya,
industri kreatif di Kota Bandung, sebagai kota yang dihuni 60 persen kalangan
muda di bawah 40 tahun dan tempat berkembangnya perguruan tinggi, industri
kreatif tumbuh pesat. Hal ini merupakan potensi besar bagi perkembangan
industri kreatif di Jawa Barat. Apalagi sektor industri kreatif menyumbang 7,8
persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jabar. (www.tempointeraktif.com).
Penting kiranya mendorong kemampuan masyarakat
(individu) agar mampu berkreasi dan menjadi bagian dari sektor industri
kreatif. Maka, hal yang penting diperhatikan untuk mendorong tumbuhnya budaya
kreatif. Pertama, pemanfaatan internet dan saluran informasi (information
tool) untuk dapat memetik dan mempelajari kreativitas dunia. Kedua,
menciptakan pasar domestik dan pasar ekspor yang menyerap berbagai produk
kreatif ini. Ketiga, dengan cara menggandeng komunitas kreatif.
Kita tidak bisa berharap kepada APBD dan Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) APBN 2009 yang mencapai Rp 23,969 triliun.
Itu hanya stimulus. Jawa Barat punya potensi ekonomi kreatif yang besar dan
unik. Unik karena tiap daerah punya ciri khas dan terbukti menjadi penggerak
ekonomi masyarakat di daerah tersebut. Tahu cibuntu, tahu sumedang, ubi
cilembu, tas dan sepatu Cibaduyut, kerajinan rotan Cirebon, kerajinan kulit
Garut, dodol garut, factory
outlet Kota Bandung, dan
sederet potensi ekonomi kreatif yang tak tertandingi dan telah melakukan
kegiatan ekspor. Industri ini tak pernah mati karena menjadi bagian dari budaya
masyarakat. Namun, tak bisa tumbuh pesat karena belum ada sentuhan serius dari
pemerintah.
Pemerintah daerah tidak perlu mencari-cari ke
luar daerah apalagi ke luar negeri. Kita telah punya potensi, tinggal
dikembangkan dan dikelola dengan baik. ITB, IPB, UIN Bandung, UPI, dan kampus
terkemuka lain ada di Jawa Barat. Mengapa tidak, industri kreatif berbasis
teknologi dikembangkan melalui kerja sama pemerintah daerah dengan kalangan
akademik. Sinergi stakeholder;
pemerintah, komunitas kreatif, dunia usaha, kampus, dan masyarakat lokal
menjadi penting dilakukan untuk membangun industri kreatif ini.
Ke depan, konsep one village one product (OVOP) bisa dikembangkan, bukan hanya
berorientasi pada pasar domestik, tapi juga pasar dunia. Ini soal political will dan merupakan bagian dari pemberdayaan
ekonomi masyarakat yang sesungguhnya. Jika ini dikelola dengan serius dan
sinergi antar-stakeholder tercipta
dengan baik, bukan mustahil jika toko sepatu Cibaduyut menjamur di Eropa dan
dodol garut jadi menu orang Asia.
Wallahu`alam.***
Penulis, mahasiswa Program S-2 Ekonomi
Keuangan Syariah Universitas Indonesia (UI) dan pengajar pada Fakultas
Ushuluddin UIN Bandung.
[Pikiran Rakyat, 18 Februari
2009]
Rabu,
11 Februari 2009
Oleh Firman
Hermana
Setelah diluncurkannya Cetak Biru Ekonomi Kreatif, pemerintah mencanangkan
tahun 2009 sebagai Tahun Indonesia Kreatif. Peluang dari tahun ekonomi kreatif
yang akan muncul sangat banyak. Sebanyak 5,4 juta (5,9 persen) dari penyerapan
tenaga kerja, sebesar 6,3 persennya dari produk domestik bruto (PDB). Terutama
untuk pasar dalam negeri sangat besar kontribusinya karena dilakukan oleh
pelaku ekonomi kreatif di dalam negeri. Sumbernya, bahan bakunya, dan segala
macam yang digunakan, sebagian besar dari dalam negeri.
Nilai perekonomian dari sumbangan ekonomi kreatif
Rp 100 triliun di 2006. Kalau diperkirakan pertumbuhannya 6 persen, berarti Rp
112 triliun pada saat ini pertumbuhannya mengikuti ekonomi, kata Menteri
Perdagangan Mari E Pangestu. Menurutnya, kinerja dan karya para pelaku 14
sektor industri kreatif akan lebih luas sehingga dapat menciptakan lapangan
kerja baru dan memberi kontribusi bagi perekonomian nasional. Pasar produk
ekonomi kreatif maupun SDM kreatif masih terbuka lebar yakni sebesar 47 persen
dari total penduduk Indonesia atau sebesar 143,8 juta yang usianya di bawah 29
tahun.
Daniel Pink dalam bukunya, The Whole New Mind (2006), mengatakan bahwa sektor-sektor
yang bisa dikembangkan oleh negara-negara maju, yang sulit ditiru oleh
negara-negara lainnya, adalah sektor yang lebih banyak melibatkan kemampuan
otak kanan manusia, seperti aspek art,
beauty, design, play, story, humor, symphony, caring, empathy and meaning.
Karena ini memerlukan kemampuan spesifik manusia yang melibatkan kreativitas,
keahlian, dan bakat. Sedangkan sektor industri dan informasi, lebih banyak
memerlukan kemampuan otak kiri (berpikir linier, mekanistik, rutin/hafalan dan
parsial). Hal ini berarti kualitas SDM yang diperlukan adalah manusia yang
berkarakter dan kreatif.
SDM Berkarakter
Tentunya ini tantangan baru bagi negara-negara
yang selama ini lebih memfokuskan pendidikannya pada pengembangan otak kiri
manusia. Hal inilah yang telah membuat banyak negara maju merevisi strategi
pendidikannya. Misalnya tujuan pendidikan di Korea Selatan di abad ke-21 adalah
menempatkan aspek pengembangan kreativitas sebagai prioritas utama. Di
Singapura sejak tahun 2005, sistem pendidikannya dinamakan “holistic
education” yaitu membangun
moral anak didik, intelektual, sosial dan estetika.
Negara yang berhasil adalah yang berproduksi
melalui pengembangan industri/ekspansi manufaktur, atau berniaga. Untuk itu,
sikap kerja keras, dedikasi dan keahlian (workmanship) yang dimiliki
SDM-nya pada semua lini produksi merupakan kunci utama yang harus dimiliki.
Artinya, negara tersebut akan memberikan prioritas pada pengembangan karakter
SDM yang kondusif untuk sebuah masyarakat produsen (producer society).
Jepang, Korea, Taiwan, dan RRC adalah
negara-negara yang terkenal sebagai negara produsen yang andal dan karakter
bangsanya terkenal sebagai bangsa yang mempunyai etos kerja tinggi, hemat, dan
mau “bersusah-susah dulu” untuk “membangun istana masa depan”. Tak berlebihan menyebutHong
Kong dan Singapura
sebagai contoh kawasan kecil yang tak memiliki sumber daya alam, namun keduanya
boleh bangga karena termasuk yang terkaya di dunia, karena etos kerja dan
kualitas kerjanya yang bagus.
Apabila negara-negara maju merasa semakin sulit
untuk dapat bersaing dengan China dan India dalam berbagai
sektor industri dan teknologi informasi, bagaimana dengan Indonesia yang
rata-rata kualitas SDM-nya masih relatif lebih rendah? Sebetulnya Indonesia mempunyai
potensi besar dalam bidang creative
economy.
Namun, pertanyaannya adalah apakah kita sudah
siap bersaing dengan negara-negara lain yang terus mengembangkan kualitas
produk dan jasanya secara kreatif dan inovatif? Selain itu, apakah Indonesia bisa
menjadi tempat yang kondusif bagi tumbuhnya manusia-manusia kreatif,
berkarakter (jujur, beretos kerja tinggi, disiplin, ramah, baik hati, toleran
dan sebagainya), sehingga menarik untuk para investor? Semuanya bermuara dari
bagaimana mereka dididik dan dipersiapkan.
Pendidikan yang Membunuh Kreativitas
Sayangnya banyak praktik pembelajaran di sekolah
kita justru menghambat berkembangnya kreativitas anak-anak. Menurut Howard
Garner, sistem pendidikan yang salah dapat membunuh kreativitas anak-anak
sehingga hanya tinggal 10% dari potensinya ketika usia 8 tahun. Ketika salah
didik ini berlangsung sampai pada usia 12 tahun, potensi kreativitasnya menurun
hingga hanya 2%. Jadi, pendidikan usia dini dan sekolah dasar adalah masa-masa
emas untuk mengembangkan potensi kreativitas manusia. Sebesar 95% pertumbuhan
otak terjadi pada usia di bawah 12 tahun. Apabila kita salah mendidiknya,
pertumbuhan struktur jaringan otak akan terhambat, dan dampaknya adalah
permanen.
Sejumlah pakar mengatakan bahwa banyak praktik
pendidikan yang dianggap sebagai “creative
killers”, dan itu ternyata
masih lazim dilakukan diIndonesia.
Terlalu menekankan praktik menghafal isi teks buku, sistem tes yang membutuhkan
jawaban baku/standar (misalnya benar atau salah, sistem pilihan berganda),
serta melatih memori jangka pendek (menghafal hanya untuk bisa menjawab tes,
dan akan lupa beberapa hari kemudian) adalah berbahaya bagi perkembangan
kreativitas. Cara-cara tersebut hanya mengembangkan kemampuan berpikir yang
paling rendah (LOTS-Lower Order Thinking Skills). Setara dengan kemampuan
berpikir beo yang bisa dilatih untuk menghafal lagu tertentu. Bayangkan
anak-anak didik kita sejak kelas 1 SD sudah dipersiapkan untuk berpikir dengan
cara seperti ini, sehingga mereka terbiasa berpikir linier, sederhana atau textbook thinking.
Selain itu, materi pembelajaran yang diberikan secara
parsial dan abstrak telah membuat para murid tidak bisa berpikir HOTS (Higher
Order Thinking Skills) yaitu konseptual (keterkaitan antarmateri pelajaran
serta keterkaitannya dengan kehidupan nyata), berpikir sintesis untuk
memberikan solusi/pemecahan masalah, serta berpikir kritis untuk menyaring dan
mengolah berbagai informasi yang ada. Proses pembelajaran yang kaku (murid
lebih banyak menyimak, tanpa diskusi aktif), beban pelajaran yang terlalu
berat, rasa tertekan dan ketakutan siswa akan kegagalan, serta guru yang
kaku/galak, melengkapi daftar panjang creative
killers yang masih
berlangsung dalam proses pendidikan kita. Anak bisa berkembang menjadi pribadi
yang rendah diri, takut mengambil risiko, pasif dan tidak berkarakter.
Inilah mungkin yang menyebabkan jumlah wiraswasta
kita hanya di bawah 1%, karena untuk menjadi wiraswasta memerlukan kreativitas
dan sikap berani mengambil risiko, serta karakter yang percaya diri, disiplin
dan beretos kerja tinggi. Oleh karena itu, reformasi pendidikan demi
menghasilkan manusia yang kreatif dan HOTS adalah mutlak apabila kita mau
berhasil dalam era ekonomi kreatif.
Penulis adalah alumnus University of Gottingen
Jerman.
Sinar Harapan, 5 Februari 2009
Oleh Darwis
SN
Presiden RI pada pembukaaan Pameran Pekan Budaya Indonesia baru-baru
ini kembali mengajak untuk bersiap-siap menyambut era Ekonomi Kreatif yang
sering disebut sebagai ekonomi gelombang ke-4. Istilah Ekonomi Kreatif pertama
kali didengungkan oleh John Howkins, orang Inggris yang menulis buku “Creative
Economy, How People Make Money from Ideas”. Dia seorang yang multiprofesi yang
selain membuat film juga aktif menyuarakan ekonomi kreatif kepada pemerintah Inggris.
Maka, dia banyak terlibat dalam diskusi-diskusi pembentukan kebijakan ekonomi
kreatif di kalangan pemerintahan negara-negara Eropa. Menurut definisi Howkins,
Ekonomi Kreatif adalah kegiatan ekonomi dimana input dan output-nya
adalah Gagasan.
Tokoh berikutnya adalah Richard Florida, seorang
doktor ekonomi dari Amerika. Dalam buku-bukunya, “The Rise of Creative
Class” dan “Cities and the Creative Class”, dia menyuarakan tentang industri
kreatif dan kelas kreatif di masyarakat. Menurut Dr. Florida, “Seluruh umat
manusia adalah kreatif, apakah ia seorang pekerja di pabrik kacamata atau
seorang remaja di gang senggol yang sedang membuat musik hip-hop. Perbedaanya
adalah pada statusnya (kelasnya), karena ada individu-individu yang secara
khusus bergelut di bidang kreatif (dan mendapat faedah ekonomi secara langsung
dari aktivitas tersebut). Tempat-tempat dan kota-kota yang mampu menciptakan
produk-produk baru yang inovatif tercepat akan menjadi pemenang kompetisi di
era ekonomi ini”.
Robert Lucas, pemenang Nobel di bidang ekonomi,
mengatakan bahwa kekuatan yang menggerakkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi kotaatau
daerah dapat dilihat dari tingkat produktivitas klaster orang-orang bertalenta
dan orang-orang kreatif atau manusia-manusia yang mengandalkan kemampuan ilmu
pengetahuan yang ada pada dirinya.
Ketika sektor industri telah beralih ke
negara-negara berkembang karena ongkos produksi yang lebih rendah dengan
murahnya upah tenaga kerja, negara-negara maju lebih memfokuskan pada sektor
jasa dan teknologi informasi (TI), sehingga keunggulan komparatif negara-negara
maju dalam bidang ini tidak mudah tersaingi oleh-negara-negara berkembang. Saat
itu, mereka yang bekerja dalam IT mempunyai pendapatan yang jauh lebih tinggi
daripada mereka yang bekerja di sektor-sektor lainnya.
Merevisi Strategi Pendidikan
Namun ketika China dan India berhasil
mencetak tenaga-tenaga ahli dalam bidang ini dalam jumlah yang amat besar,
telah membuat negara-negara maju kerepotan, karena upah tenaga IT menjadi
murah. Perubahan cepat teknologi IT juga telah menurunkan harga perangkat lunak
dan keras bidang IT. Maka, berkembanglah wacana baru tentang era creative economy; creative industry dan baru-baru ini Bill Gates
menggunakan istilah creative
capitalism.
Adanya proses globalisasi dengan dunia yang
begitu cepat berubah, memerlukan kemampuan manusia yang cepat beradaptasi,
cepat berpikir untuk mencari solusi dan imajinatif serta penuh ide untuk dapat
mengembangkan strategi/desain/inovasi baru, karena umur sebuah
teknologi/produk/desain tidak akan lama. Artinya, negara-negara yang mempunyai
keunggulan komparatif dalam sektor creative
economy akan menguasai masa
depan.
Daniel Pink dalam bukunya The Whole New Mind (2006) mengatakan bahwa sektor-sektor
yang bisa dikembangkan oleh negara-negara maju, yang sulit ditiru oleh
negara-negara lainnya, adalah sektor yang lebih banyak melibatkan kemampuan
otak kanan manusia, seperti aspek art,
beauty, design, play, story, humor, symphony, caring, empathy and meaning.
Karena ini memerlukan kemampuan spesifik manusia
yang melibatkan kreativitas, keahlian, dan bakat. Sektor industri dan
informasi, lebih banyak memerlukan kemampuan otak kiri (berpikir linier,
mekanistik, rutin/hafalan dan parsial). Hal ini berarti kualitas SDM yang
diperlukan adalah manusia yang berkarakter dan kreatif.
Tentunya ini sebuah tantangan baru bagi negara-negara
yang selama ini lebih memfokuskan pendidikannya pada pengembangan otak kiri
manusia. Hal inilah yang telah membuat banyak negara-negara maju merevisi
strategi pendidikannya.
Misalnya, tujuan pendidikan di Korea Selatan di
abad ke-21 adalah menempatkan aspek pengembangan kreativitas sebagai prioritas
utama. Di Singapura sejak tahun 2005, sistem pendidikannya dinamakan holistic education, yaitu
membangun moral anak didik, intelektual, sosial dan estetika.
Etos Kerja dan SDM Indonesia
Orang percaya bahwa sebuah negara yang berhasil
adalah negara yang berproduksi melalui pengembangan industri/ekspansi
manufaktur, atau berdagang (merchant). Untuk itu, sikap kerja keras,
dedikasi dan keahlian (workmanship) yang dimiliki SDM-nya pada semua
lini produksi menjadi kunci utama yang harus dimiliki.
Artinya, negara tersebut akan memberikan
prioritas pada pengembangan karakter SDM yang kondusif untuk sebuah masyarakat
produsen (producer society). Contohnya Jepang, Korea, Taiwan (dan China
daratan yang sekarang sedang pesat tumbuh), adalah negara-negara yang terkenal
sebagai negara produsen yang andal, dan karakter bangsanya terkenal mempunyai
etos kerja tinggi, hemat, dan mau “bersusah-susah dulu” untuk “membangun istana
masa depan”.
Tak berlebihan menyebut Hong Kong dan Singapura sebagai
contoh kawasan kecil yang tak memiliki sumberdaya alam, namun keduanya boleh
bangga karena termasuk yang terkaya di dunia, karena etos kerja dan kualitas
kerjanya yang bagus.
Apabila negara-negara maju merasa semakin sulit
untuk dapat bersaing dengan China dan India dalam berbagai
sektor industri dan teknologi informasi, bagaimana dengan Indonesia yang
rata-rata kualitas SDM-nya masih relatif lebih rendah?
Tentunya banyak tantangan yang dihadapi Indonesia dalam
mengejar ketinggalannya agar bisa bersaing di era globalisasi. Dengan adanya
perdagangan bebas dan terbuka AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang dimulai sejak
2004, dan APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) pada 2020, persaingan
antarnegara menjadi head-to-head,
di mana negara yang bisa berhasil dalam perekonomian global adalah negara yang
bisa memproduksi barang dan jasa dengan cepat, kualitas bagus, harga bersaing,
desain menarik, strategi pemasaran yang jitu dan lain-lain.
Kembali lagi, kuncinya adalah kualitas SDM yang semuanya bermuara dari
bagaimana mereka dididik dan dipersiapkan.
Sebetulnya Indonesia mempunyai
potensi besar dalam bidang creative
economy. Namun pertanyaannya adalah, apakah kita sudah siap bersaing dengan
negara-negara lain yang terus mengembangkan kualitas produk dan jasanya secara
kreatif dan inovatif?
Selain itu, apakah Indonesia bisa
menjadi tempat yang kondusif bagi tumbuhnya manusia-manusia kreatif,
berkarakter (jujur, beretos kerja tinggi, disiplin, ramah, baik hati, toleran
dan sebagainya), sehingga menarik untuk para investor?
Penulis adalah pemerhati kebijakan
publik. Alumnus University
of Adelaide Australia.
Sinar Harapan, 27 juni 2008
Rabu,
14 Januari 2009
Oleh H. Eddy Jusuf
KRISIS ekonomi global memiliki pengaruh besar terhadap lini perekonomian
Indonesia, khususnya bidang ekspor yang angka pertumbuhannya Agustus 2008 lalu
hanya 30 persen. Dengan demikian, diperlukan alternatif baru untuk mendongkrak
pertumbuhan ekonomi 2009. Tantangan bangsa Indonesia akibat
krisis tersebut, telah membuka peluang bagi industri kreatif atau ekonomi
kreatif untuk mengembangkan potensi yang ada.
Potensi
industri kreatif harus bangkit meraih peluang, sehingga menjadi sumber kekuatan
ekonomi baru setelah terpaan krisis menghantui bidang pertanian, industri
manufaktur, dan pertambangan. Apalagi, pemerintah menargetkan industri kreatif
Indonesia tumbuh 6,3 persen pada 2009 serta penciptaan lapangan kerja baru
untuk 5,4 juta orang (5,9 persen), dan pengurangan kemiskinan.
Industri
kreatif, menjadi harapan yang teruji akan kemampuannya dalam bertahan hidup
dari terpaan krisis finansial global. Ketika industri padat modal dilanda
krisis, maka industri kreatif menjadi solusi penyangga perekonomian nasional,
karena produk yang dihasilkan pada sektor ini tak bergantung 100 persen market
konvensional, seperti Amerika Serikat, Eropa, maupun Jepang.
Selain
itu, industri kreatif merupakan satu dari tiga sektor yang mendorong
pertumbuhan perekonomian ketika ekonomi dunia melambat. Dua sektor lainnya
yaitu, pariwisata dan tenaga kerja yang handal, terampil, dan berbudaya. Maka
dengan sendirinya, industri kreatif mau tak mau menjadi leading sector yang
konstruktif dalam memberikan kontribusi devisa. Terbukti dari perannya yang
enam persen terhadap PDB dan sektor industri kreatiflah yang berjalan dengan
benar.
Jadi,
dapat dipastikan alasan pemerintah bahwa 2009 ini, menjadi implementasi
penetapan "Tahun Indonesia Kreatif 2009" yang mengusung pelaksanaan
cetak biru dari pengembangan industri kreatif atau ekonomi kreatif 2009-2025.
Persoalannya
kini, bagaimana krisis itu dapat dijadikan momentum bagi potensi industri
kreatif domestik, sebagai salah satu sumber tumpuan dan pertumbuhan ekonomi. Sebab, Indonesia bukan
saja kaya dengan sumber daya alam, tetapi juga dikaruniai oleh berbagai
keragaman latar sosial dan budaya. Dari situlah, ide-ide tak terbatas dan
potensi yang dapat digali.
Pada
dasarnya, pertumbuhan industri kreatif didorong oleh kapitalisasi kreativitas
dan inovasi dalam menghasilkan produk atau jasa dengan kandungan kreatif.
Intinya, kandungan kreatif yang tinggi terhadap masukan dan keluaran aktivitas
ekonomi ini. Istilah industri kreatif memang masih relatif baru. Maka, tak
heran kalau pengertiannya belum didefinisikan secara jelas.
Secara
umum dikatakan bahwa industri kreatif adalah sistem kegiatan manusia kelompok
atau individu yang berkaitan dengan kreasi, produksi, distribusi, pertukaran,
dan konsumsi barang dan jasa yang bernilai kultural, artistik, estetika,
intelektual, dan emosional bagi para pelanggan di pasar.
Terlebih, Indonesia mempunyai peluang
besar di sektor ini, selain culture
resource dan agro resource juga volume industri kreatif di Indonesiamencapai
sekitar Rp 80 triliun per tahun. Kewajiban pemerintah untuk mendorong potensi
industri kreatif ini dijadikan cross
culture creativity atau
kreativitas antarbudaya, yang bertujuan untuk memunculkan
kreativitas-kreativitas baru dari persinggungan budaya antardaerah di berbagai
pelosok Indonesia.
Pemerintah
melalui Departemen Perdagangan RI setidaknya
telah mengklasifikasikan apa yang digunakan John Howkins, penulis buku Creative Economy, How People Make
Money from Ideas. Meski saat ini pemerintah sudah memandang cukup berhasil,
dalam mepetakan 14 subsektor industri kreatif, antara lain: (1) periklanan, (2)
arsitektur, (3) pasar seni dan barang antik, (4) kerajinan, (5) desain, (6)
fesyen, (7) video, film, dan fotografi, (8) permainan interaktif, (9) musik,
(10) seni pertunjukan, (11) penerbitan dan percetakan, (12) layanan komputer
dan piranti lunak, (13) televisi dan radio, dan (14) riset, serta pengembangan.
Artinya,
dalam mengembangkan industri kreatif ini, pemerintah telah membuat kebijakan
dan memberi kemudahan bagi para pelaku industri kreatif untuk mengembangkan
usahanya, terutama aksesibilitas permodalan. Beberapa bank sudah ditunjuk pemerintah,
untuk membantu industri kreatif skala kecil dan menengah, tentunya dengan
persyaratan yang mudah dan tingkat suku bunga ringan. Meski, di lapangan masih
saja terjadi persoalan teknis yang dipandang para pelaku industri kreatif cukup
rumit dan kaku, ketika berurusan dengan permodalan.
Hal
itu, tentunya harus dipahami pemerintah ketika mereka bersinggungan dengan
kebijakan perbankan. Respons pemerintah terhadap sektor ini akan lebih
bermanfaat, apabila dilakukan langkah-langkah proakatif sehingga mereka dapat
lebih berkembang laju usahanya. Selain itu, regulasi dan deregulasi untuk
mendorong produktivitas dan menekan ekonomi biaya tinggi tentu sangat membantu
mereka. Pada akhirnya, mampu mengubah krisis menjadi peluang usaha atau bisnis.
Di sinilah, pemerintah pusat dan daerah berperan, agar target pertumbuhan
ekonomi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang dapat tercapai.
Keseriusan
pemerintah terhadap industri kreatif ini, telah dibuktikan dengan adanya
peluncuran program Indonesia Design Power (IDP) beberapa waktu lalu dan program
pendukung untuk meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia di
pasar domestik maupun ekspor. Melalui industri kreatif inilah, pemerintah terus
mencari upaya pengembangan akses pasar ekspor, baik ekspor jasa maupun produk.
Dengan
menumbuhkembangkan industri kreatif, maka pemerintah menyadari bahwa untuk
mengembangkan industri kreatif tidak bisa hanya dengan mengandalkan pendanaan
dari perbankan. Namun, perlu pendanaan khusus yang difasilitasi oleh pemerintah
dan salah satu permodalan yang memungkinkan dilakukan yakni dengan permodalan ventura serta
penggunaan dana corporate social responsibility (CSR) BUMN, dan didukung oleh
Departemen Perdagangan dan kementerian lainnya, untuk merancang pengembangan
industri kreatif guna memacu pertumbuhan dan daya kreatifnya.***
Penulis,
Guru Besar Kopertis Wilayah IV Jabar- Banten, Pembantu Rektor I Universitas
Pasundan (Unpas) Bandung.
[Pikiran Rakyat, 15 Januari 2009]
Senin,
05 Januari 2009
Oleh Hj.
Erni R. Ernawan
Ada pertanyaan yang muncul mengapa
peringatan Hari Ibu yang lalu dilaksanakan bersamaan dengan Pencanangan Tahun
Indonesia Kreatif 2009. Hal itu, didasarkan pada kenyataan bahwa kaum perempuan Indonesia yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari warga negara dan sebagai pejuang bangsa
antara lain, membangun bangsa sendiri menyeluruh sesuai dengan kodrat dan
kemajuannya. Pengembangan ekonomi kreatif, membutuhkan sumber daya manusia
(SDM) yang berkualitas dan kreatif. Kreativitas SDM perlu dibentuk sejak dini,
dimulai dari pendidikan di dalam lingkungan keluarga di mana peran sangat
menentukan antara lain mendidik putra-putrinya. Dengan demikian, jelas terlihat
bahwa didikan seorang ibu sangat berperan dalam membentuk insan kreatif bagi
bangsa Indonesia,
yang akan menentukan perkembangan ekonomi kreatif.
Ekonomi
kreatif dan industri kreatif mulai marak dibicarakan di Indonesia, kira-kira
2006, karena pemerintah mencatat pertumbuhan ekonomi kreatif 2006 cukup tinggi,
bahkan melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi kreatif di
atas rata-rata nasional pada 2006 mencapai 7,3%, pertumbuhan Produk Domestik
Bruto (PDB) nasional hanya 5,6%. Selama 2002-2006, industri kreatif menyerap
sekitar 5,9 juta pekerja dan menyumbang Rp 81,5 triliun atau 9,13% terhadap
total ekspor nasional.
Sejumlah
kota-kota besar dengan dimotori anak-anak muda, akhir-akhir ini menyambut
datangnya wacana ekonomi kreatif. Ekonomi yang lebih mengedepankan kreativitas
dan inovasi sebagai motor penggerak ekonomi. Di Bandung misalnya, beberapa
tahun ini sejumlah seminar tentang industri kreatif diselenggarakan, sejumlah
lembaga seperti Center For
Inovation Enterpreneurship & Leadership (CIEL) yang merupakan bagian dari
Sekolah Bisnis Manajemen ITB bekerja sama dengan Departemen Industri dan
Perdagangan, merancang strategi pengembangan industri kreatif di Jawa Barat.
Banyak
yang menyatakan ekonomi kreatif adalah ekonomi gelombang keempat, yang
berorientasi pada kreativitas, budaya, serta warisan budaya, dan lingkungan.
Pembagian gelombang itu sebenarnya kelanjutan dari teori Alvin Toffler, yang
membagi peradaban ke dalam tiga gelombang, yaitu gelombang pertama adalah abad
pertanian, gelombang kedua abad industri, dan gelombang ketiga abad informasi,
serta gelombang keempat yang dinamakan dengan ekonomi kreatif.
UNESCO
pada 2003, mengeluarkan rilis resmi mengenai definisi industri kreatif ini
sebagai suatu kegiatan yang menciptakan pengetahuan, produk, dan jasa yang
orisinal, berupa hasil karya sendiri. Salah satu negara yang sangat giat
menyosialisasikan ekonomi kreatif adalah Inggris. Pemerintah Inggris
menyediakan dana bantuan 6 juta poundsterling (sekitar Rp 108 miliar), untuk
mendukung pengembangan industri kreatif di berbagai negara berkembang.
Agenda
untuk kita
Realitas
dan fenomena ekonomi kreatif, sebenarnya bukanlah hal baru bagi Indonesia yang
telah terbukti memiliki aset kreativitas sejak dulu. "Indonesia tidak
kekurangan modal kreativitas, hanya kekurangan kemampuan
mengintegrasikannya". Untuk itu, langkah yang dibentuk adalah mengamati
apa yang kita miliki (jati diri bangsa dan potensi SDA dan SDM). Berikut ini
ada tiga faktor penggerak yang penting akan penciptaan dan pembangunan industri
kreatif yang disebut 3 T, talenta, toleransi, dan teknologi (Florida).
Sudah
jelas, untuk menghasilkan sesuatu yang berdaya saing, dibutuhkan SDM yang baik,
yaitu talenta. John Howkins menyebut mereka sebagai orang yang hidup dari
penciptaan gagasan dan mengeksploitasinya dengan berbagai cara. Florida mengklasifikasi
kelas ini, ada yang bernuansa akademik (universitas), berorientasi teknologi (tech-pole),
bernuansa artistik (bohemian), pendatang (imigran; warga negara keturunan etnis
tertentu). Tom Peters mengatakan, "Bila Anda ingin inovatif, gampang saja,
bergaullah dengan orang-orang aneh dan Anda akan bertambah kreatif. Tapi, jika
Anda bergaul dengan orang-orang yang membosankan, Anda akan semakin membosankan
juga."
Florida mengatakan, lapangan pekerjaan akan
tercipta di tempat-tempat di mana terdapat konsentrasi yang tinggi dari pekerja
kreatif, bukan kebalikannya. Orang-orang yang memiliki talenta tinggi memiliki
daya tawar yang tinggi, mereka memiliki banyak alternatif karena permintaan
tinggi. Bila mereka ditawari pekerjaan di daerah-daerah sepi dan membosankan,
mereka cenderung akan menolak, maka yang lebih berkepentingan adalah user dari
pekerja kreatif ini dan user akan mengalah, asalkan mereka mendapat SDM yang
berkualitas. Apa hubungannya dengan toleransi? Ini berkaitan dengan iklim
keterbukaan. Bila suatu daerah memiliki tingkat toleransi tinggi terhadap
gagasan-gagasan yang gila dan kontroversial, serta mendukung orang-orang berani
berbeda, iklim penciptaan kreativitas dan inovasi akan semakin kondusif, karena
pekerja kreatif dapat bebas mengekpresikan gagasannya. Termasuk dalam toleransi
adalah kemudahan memulai usaha baru dan ketersediaan kanal-kanal solusi
finansial untuk mengembangkan bisnis.
Teknologi
sudah menjadi keharusan dan berperan dalam mempercepat, meningkatkan kualitas,
dan mempermudah kegiatan bisnis dan bersosial. Dewasa ini semakin banyak
pekerjaan manusia, yang digantikan teknologi membuat manusia sebagai
operatornya memiliki lebih banyak waktu untuk memikirkan gagasan-gagasan baru.
Jika pernyataan ini saya balik, maka menjadi demikian: semakin manusia
direpotkan oleh aktivitas fisik dan tidak dibantu teknologi, sebagian besar
waktu manusia akan habis terbuang untuk urusan teknis. Dalam arti lain,
teknologi menunjang produktivitas. Dengan demikian, kemudahan mengakses dan
membeli teknologi, transfer teknologi adalah faktor penting dalam pembangunan
ekonomi kreatif. Contoh dalam penggunaan perangkat lunak. Bagi negara
berkembang seperti Indonesia,
pembelian lisensi perangkat lunak adalah kendala besar, karena harga perangkat
lunak di Jakarta relatif sama dengan harga
di New
York. Ini adalah faktor penghambat kelancaran lahirnya
industri-industri baru.
Tentu
saja 3T ini bukan satu-satunya faktor penggerak ekonomi kreatif, karena pada
dasarnya "seluruh umat manusia adalah kreatif, apakah ia seorang pekerja
di pabrik kacamata atau remaja di gang senggol yang sedang membuat musik
hip-hop. Namun, perbedaannya adalah pada statusnya (kelasnya), karena ada
individu-individu yang secara khusus bergelut di bidang kreatif (dan mendapat
faedah ekonomi secara langsung dari aktivitas tersebut). Tempat-tempat dan
kota-kota mampu menciptakan produk-produk baru yang inovatif tercepat, akan
menjadi pemenang kompetisi di era ekonomi ini".
Dengan
semangat Tahun Baru Hijriyah 1430 dan Tahun Baru Masehi 2009, semoga kita siap
sebagai pemenangnya!***
Penulis,
Sekretaris Lembaga Penelitian Universitas Pasundan dan dosen Kopertis Wilayah
IV dpk. Fakultas Ekonomi Unpas.