0

Otomatis Pandai Matematika

Posted by Anita Riani Jarkasih on 21.21

Otomatis Pandai Matematika
Siang itu, tatkala matahari mulai menyengat, tatkala waktu sholat Jum’at akan segera tiba, segera kuhentikan sebuah angkot*. Pulang ke rumah kontrakan. Untuk segera bersiap menunaikan sholat Jum’at yang sudah di ambang waktu.
Dalam angkot saya duduk dengan beragam orang. Di salah satu pojok belakang, ada beberapa mahasiswa yang sedang asyik mengobrol. Di pojok belakang lainnya ada seorang bapak yang diam merenung. Di sebelahnya ada ibu-ibu yang juga terdiam. Tidak penuh memang angkot itu. Makanya ketika angkot itu saya hentikan, cukup dengan satu lambaian tangan, segera berhenti untuk mengangkut saya.
Entah sebuah keberuntungan atau godaan menurut Anda? Saya kebetulan mendapat tempat duduk di samping seorang gadis cantik nan manis, yang sedang melamun anggun. Saking cantiknya, saya yakin, siapapun akan tergoda untuk meliriknya, melihat wajahnya, menatap raut mukanya. Tak terkecuali saya. Sekali saya meliriknya! Ya, melirik sekedar menuntaskan penasaran, melihat wajah cantiknya.
Sekali sudah saya lirik, sekali sudah saya lihat wajah cantiknya. Menurut tuntunan agama (Islam), bila hanya sekali melihat itu namanya ‘rejeki’. Tetapi bila yang kedua kali atau selanjutnya, maka itu dikategorikan sudah mengumbar hawa nafsu, menuruti godaan setan (syaiton) yang terkutuk, maka tercatat sebagai ‘dosa’ yang wajib dipertanggungjawabkan. Teringat akan hal itu, segera saya berusaha menundukkan pandangan.
Tak berapa lama, saya akui tak sanggup lagi. Ya, saya tak sanggup untuk terus menundukkan pandangan. Saya pun mengalihkan pandangan. He he he… (sama saja ya?). Ya, saya mengalihkan pandangan ke arah lain, berusaha untuk tidak melihatnya.
Sepanjang perjalanan saya berkonsentrasi memikirkan masalah yang sedang saya hadapi, sekalian merenung dan berpikir. Tapi suara gaduh dua mahasiswa yang sedari tadi mengobrol bercuap-cuap seenaknya itu, akhirnya memecah konsentrasi saya. Ah, karenanya saya terpaksa mendengar obrolan mereka. Toh, sepertinya, obrolan mereka bukan tentang gosip, bukan membicarakan keburukan orang lain.
 “Ah, si Ade mah emang pinter Fisika dari dulunya juga. Pantes saja kalau dia juga pandai matematika. Pas SMA saya kan sekelas sama si Ade itu,” ucap seorang mahasiswa berbaju hitam.
“Iya sih, kalau pinter fisika otomatis pinter matematika,” timpal seorang mahasiswa lainnya yang berbaju putih.
“Tapi kalau yang pinter matematika belum tentu pinter fisika,” tambah sang mahasiswa berbaju putih.
Saya yang kebetulan mendengar pernyataan itu kemudian merenung, berpikir, dan bertanya pada diri sendiri. Apa benar bila seseorang itu pandai fisika maka otomatis pandai matematika?
Sebetulnya pernyataan yang baru saja saya dengar dari kedua mahasiswa tadi bukanlah hal baru. Sebelumnya pun saya pernah mendengar pernyataan yang serupa. Ya, pernyataan yang menyatakan bahwa seseorang yang pandai fisika, maka otomatis dia akan pandai matematika.
Berpikir tentang hal itu, memaksa pikiran ini mengingat lembaran pengetahuan yang pernah saya baca dari buku-buku sejarah sains atau matematika.
Archimedes, yang di dalam ilmu fisika terkenal dengan hukum Archimidesnya, ternyata juga banyak berkontribusi pada matematika dalam bidang geometri dan Kalkulus.
Isaac Newton, yang dalam dunia fisika terkenal dengan hukum gravitasi benda langit, dan hukum: I, II, dan III Newtonnya, ternyata adalah juga merupakan seorang matematikawan yang amat besar kontribusinya di bidang Kalkulus.
Carl Friedrich Gauss, yang di dunia fisika terkenal dengan hukum Gaussnya dalam bidang kelistrikan, nyatanya dia adalah seorang ‘pangeran matematika’, dipandang sebagai matematikawan terbesar sepanjang masa.
Dan, Albert Einstein, si jenius fisikawan yang terkenal dengan teori relativitasnya itu, juga dikenal sebagai orang yang amat pandai matematika. Tak mungkin merumuskan teori relativitas, tanpa kemampuan matematika yang mumpuni.
Itulah beberapa contoh para ilmuwan, yang memperkuat pendapat bahwa, seseorang yang pandai fisika, maka otomatis dia pandai matematika.
Sekarang mari kita lihat contoh lain yang biasa-biasa.
Teman saya, yang dari jurusan fisika, sewaktu SMA adalah jawara olimpiade fisika. Ternyata benar, dia yang saya tahu juga amat mahir matematika.
Adik saya, yang kuliah di jurusan pendidikan fisika, ternyata memang pandai dalam matematika. Buktinya selalu meraih nilai A untuk mata kuliah matematika (Kalkulus) dan Matematika untuk Fisika.
Kedua contoh terakhir di atas pun masih memperkuat pernyataan dua mahasiswa yang ada dalam angkot tadi.
Tapi, saya masih punya contoh lain.
Beberapa teman saya, yang kuliah di jurusan fisika atau pendidikan fisika (saya yakin mereka pandai fisika), mengeluh, mengaku bahwa mereka kesulitan belajar fisika karena kesulitan matematika yang dipakai untuk fisika. Mereka mengatakan bahwa sebetulnya konsep fisikanya itu mudah, amat mudah malahan. Namun, yang menjadi penghambat adalah sulitnya matematika yang diterapkan untuk membantu memecahkan persoalan fisika yang mereka hadapi.
Ah, setelah teringat pendapat beberapa teman mahasiswa yang saya tulis dalam contoh terakhir tersebut, akhirnya saya masih tidak setuju dengan pendapat dua mahasiswa—dan mungkin juga pendapat orang lain—- yang duduk dalam satu angkot dengan saya tadi. Justru dari pendapat teman-teman mahasiswa pada contoh terkahir tadi, saya menangkap pernyataan bahwa sebetulnya konsep fisikanya yang mudah. Yang bikin sulit justru pemecahan masalahnya yang menggunakan matematika.
Karena itu, selanjutnya, berdasarkan contoh-contoh orang-orang jenius tadi ditambah contoh-contoh nyata yang pernah saya saksikan tersebut, saya baru bisa berkeyakinan bahwa bila seseorang itu ingin pandai fisika, maka syaratnya adalah dia wajib pandai matematika. Tidak bisa tidak! Dan tak bisa ditawar-tawar!
Angkot terus bergerak cepat. Seperti beradu cepat dengan kendaraan lain untuk segara sampai. Walau sesekali ada kemacetan. Sesekali pula terhenti di lampu merah. Dan saat itu, saat terhenti di lampu merah (traffic light) suara bising kendaraan bermotor terdengar sempurna ketika warna hijau lampu mulai menyala. Pekak telinga ini rasanya!
Kemudian, angkot bergerak melambat, dan berhenti di sebuah perempatan jalan. Beberapa penumpang turun. Dua mahasiswa tadi turun, begitu pula gadis cantik di sebelahku, turun juga rupanya.
Alhamdulillah, kini bebas pandanganku. Bebas karena ‘godaan yang menempel pada sang gadis’ sudah lenyap di sisiku. Eits, tapi, godaan kembali mendekap, saya tergoda ingin melihat sang gadis tadi lagi. Ya, saya ingin melihat untuk yang kedua atau ketiga kalinya. Tapi, rupanya, saat tak tahan untuk melihat, sang gadis sudah lenyap di kerumunan orang yang ada di perempatan. Ah, untuk kali ini, sesal kemudian, alhamdulillah!
Waktu terus berjalan. Detik, menit, bahkan jam pun berputar. Kulihat pukul 11: 47 WIB, waktu sholat Jum’at makin dekat, saat ada sebuah pesan masuk ke ponsel bututku. Satu pesan dari adikku rupanya. Setelah dibaca dan kusimpan lagi ponsel tua itu, ternyata saya pun harus segera turun. Tujuan sudah tampak di muka angkot, beberapa ratus meter lagi sepertinya. Ya, saya pun turun untuk segera sampai di kontrakan. Untuk segera ke masjid, menunaikan panggilan-Mu.
Catatan: angkot = angkutan kota. Kalau di Jakarta, angkot itu dikenal dengan sebutan mikrolet.


0 Comments

Posting Komentar

Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive | Free Blogger Templates created by The Blog Templates