Otomatis Pandai Matematika
Siang itu,
tatkala matahari mulai menyengat, tatkala waktu sholat Jum’at akan segera tiba,
segera kuhentikan sebuah angkot*. Pulang ke rumah kontrakan. Untuk segera
bersiap menunaikan sholat Jum’at yang sudah di ambang waktu.
Dalam angkot saya duduk dengan beragam orang. Di salah satu
pojok belakang, ada beberapa mahasiswa yang sedang asyik mengobrol. Di pojok
belakang lainnya ada seorang bapak yang diam merenung. Di sebelahnya ada ibu-ibu yang juga terdiam. Tidak penuh
memang angkot itu. Makanya ketika angkot itu saya hentikan, cukup dengan satu
lambaian tangan, segera berhenti untuk mengangkut saya.
Entah sebuah
keberuntungan atau godaan menurut Anda? Saya kebetulan mendapat tempat duduk di
samping seorang gadis cantik nan manis, yang sedang melamun anggun. Saking
cantiknya, saya yakin, siapapun akan tergoda untuk meliriknya, melihat
wajahnya, menatap raut mukanya. Tak terkecuali saya. Sekali saya meliriknya!
Ya, melirik sekedar menuntaskan penasaran, melihat wajah cantiknya.
Sekali sudah
saya lirik, sekali sudah saya lihat wajah cantiknya. Menurut tuntunan agama
(Islam), bila hanya sekali melihat itu namanya ‘rejeki’. Tetapi bila yang kedua
kali atau selanjutnya, maka itu dikategorikan sudah mengumbar hawa nafsu,
menuruti godaan setan (syaiton) yang terkutuk, maka tercatat sebagai ‘dosa’
yang wajib dipertanggungjawabkan. Teringat akan hal itu, segera saya berusaha
menundukkan pandangan.
Tak berapa lama, saya akui tak sanggup lagi. Ya, saya tak sanggup untuk terus menundukkan pandangan.
Saya pun mengalihkan pandangan. He he he… (sama saja ya?). Ya, saya mengalihkan
pandangan ke arah lain, berusaha untuk tidak melihatnya.
Sepanjang perjalanan
saya berkonsentrasi memikirkan masalah yang sedang saya hadapi, sekalian
merenung dan berpikir. Tapi suara gaduh dua mahasiswa yang sedari tadi
mengobrol bercuap-cuap seenaknya itu, akhirnya memecah konsentrasi saya. Ah,
karenanya saya terpaksa mendengar obrolan mereka. Toh, sepertinya, obrolan
mereka bukan tentang gosip, bukan membicarakan keburukan orang lain.
“Ah, si Ade mah emang
pinter Fisika dari dulunya juga. Pantes saja kalau dia juga pandai matematika. Pas
SMA saya kan sekelas sama si Ade itu,” ucap seorang
mahasiswa berbaju hitam.
“Iya sih, kalau pinter fisika otomatis pinter matematika,”
timpal seorang mahasiswa lainnya yang berbaju putih.
“Tapi kalau yang pinter matematika belum tentu pinter
fisika,” tambah sang mahasiswa berbaju putih.
Saya yang kebetulan mendengar pernyataan itu kemudian
merenung, berpikir, dan bertanya pada diri sendiri. Apa benar bila seseorang
itu pandai fisika maka otomatis pandai matematika?
Sebetulnya pernyataan yang baru saja saya dengar dari kedua
mahasiswa tadi bukanlah hal baru. Sebelumnya pun saya pernah mendengar
pernyataan yang serupa. Ya, pernyataan yang menyatakan bahwa seseorang yang
pandai fisika, maka otomatis dia akan pandai matematika.
Berpikir tentang hal itu, memaksa pikiran ini mengingat
lembaran pengetahuan yang pernah saya baca dari buku-buku sejarah sains atau
matematika.
Archimedes, yang di
dalam ilmu fisika terkenal dengan hukum Archimidesnya, ternyata juga banyak
berkontribusi pada matematika dalam bidang geometri dan Kalkulus.
Isaac Newton, yang
dalam dunia fisika terkenal dengan hukum gravitasi benda langit, dan hukum: I,
II, dan III Newtonnya, ternyata adalah juga merupakan seorang matematikawan
yang amat besar kontribusinya di bidang Kalkulus.
Carl Friedrich Gauss,
yang di dunia fisika terkenal dengan hukum Gaussnya dalam bidang kelistrikan,
nyatanya dia adalah seorang ‘pangeran matematika’, dipandang sebagai
matematikawan terbesar sepanjang masa.
Dan, Albert Einstein, si
jenius fisikawan yang terkenal dengan teori relativitasnya itu, juga dikenal
sebagai orang yang amat pandai matematika. Tak mungkin merumuskan teori
relativitas, tanpa kemampuan matematika yang mumpuni.
Itulah beberapa contoh para ilmuwan, yang memperkuat
pendapat bahwa, seseorang yang pandai fisika, maka otomatis dia pandai
matematika.
Sekarang mari kita lihat contoh lain yang biasa-biasa.
Teman saya, yang dari jurusan fisika, sewaktu SMA adalah
jawara olimpiade fisika. Ternyata benar, dia yang saya tahu juga amat mahir
matematika.
Adik saya, yang kuliah di jurusan pendidikan fisika,
ternyata memang pandai dalam matematika. Buktinya selalu meraih nilai A untuk
mata kuliah matematika (Kalkulus) dan Matematika untuk Fisika.
Kedua contoh terakhir di atas pun masih memperkuat
pernyataan dua mahasiswa yang ada dalam angkot tadi.
Tapi, saya masih punya contoh lain.
Beberapa teman saya, yang kuliah di jurusan fisika atau
pendidikan fisika (saya yakin mereka pandai fisika), mengeluh, mengaku bahwa
mereka kesulitan belajar fisika karena kesulitan matematika yang dipakai untuk
fisika. Mereka mengatakan bahwa sebetulnya konsep fisikanya itu mudah, amat
mudah malahan. Namun, yang menjadi penghambat adalah sulitnya matematika yang
diterapkan untuk membantu memecahkan persoalan fisika yang mereka hadapi.
Ah, setelah teringat pendapat beberapa teman mahasiswa yang
saya tulis dalam contoh terakhir tersebut, akhirnya saya masih tidak setuju
dengan pendapat dua mahasiswa—dan mungkin juga pendapat orang lain—- yang duduk
dalam satu angkot dengan saya tadi. Justru dari pendapat teman-teman mahasiswa
pada contoh terkahir tadi, saya menangkap pernyataan bahwa sebetulnya konsep
fisikanya yang mudah. Yang bikin sulit justru pemecahan masalahnya yang
menggunakan matematika.
Karena itu, selanjutnya, berdasarkan contoh-contoh
orang-orang jenius tadi ditambah contoh-contoh nyata yang pernah saya saksikan
tersebut, saya baru bisa berkeyakinan bahwa bila seseorang itu ingin pandai
fisika, maka syaratnya adalah dia wajib pandai matematika. Tidak bisa tidak!
Dan tak bisa ditawar-tawar!
Angkot terus bergerak cepat. Seperti beradu cepat dengan
kendaraan lain untuk segara sampai. Walau sesekali ada kemacetan. Sesekali pula
terhenti di lampu merah. Dan saat itu,
saat terhenti di lampu merah (traffic light) suara bising kendaraan
bermotor terdengar sempurna ketika warna hijau lampu mulai menyala. Pekak
telinga ini rasanya!
Kemudian,
angkot bergerak melambat, dan berhenti di sebuah perempatan jalan. Beberapa
penumpang turun. Dua mahasiswa tadi turun, begitu pula gadis cantik di
sebelahku, turun juga rupanya.
Alhamdulillah,
kini bebas pandanganku. Bebas karena ‘godaan yang menempel pada sang gadis’
sudah lenyap di sisiku. Eits, tapi, godaan kembali mendekap, saya tergoda ingin
melihat sang gadis tadi lagi. Ya, saya ingin melihat untuk yang kedua atau
ketiga kalinya. Tapi, rupanya, saat tak tahan untuk melihat, sang gadis sudah
lenyap di kerumunan orang yang ada di perempatan. Ah, untuk kali ini, sesal
kemudian, alhamdulillah!
Waktu terus
berjalan. Detik, menit, bahkan jam pun berputar. Kulihat pukul 11: 47 WIB,
waktu sholat Jum’at makin dekat, saat ada sebuah pesan masuk ke ponsel bututku.
Satu
pesan dari adikku rupanya. Setelah dibaca dan kusimpan lagi ponsel tua itu,
ternyata saya pun harus segera turun. Tujuan sudah
tampak di muka angkot, beberapa ratus meter lagi sepertinya. Ya, saya
pun turun untuk segera sampai di kontrakan. Untuk segera ke masjid, menunaikan
panggilan-Mu.
Catatan: angkot =
angkutan kota. Kalau di Jakarta, angkot itu dikenal dengan sebutan mikrolet.